Friday 21 October 2011

Klise

Sebenarnya gue nggak berbakat untuk menulis cerpen sih, tapi gue inget dulu gue pernah punya cita-cita jadi penulis novel. Dengan sedikit keberanian, gue mulai dengan membuat cerpen-cerpen kecil singkat dan ini salah satu cerita yang pernah gue buat waktu SMA. Just want to remember memories ! :)

Chapter 1

Terlanjur Cinta

“Diiinaaaa”, teriak Meia memanggil dari balik pintu kamar memecahkan suasa hening. Dina membuka pintu kamar yang sejak tadi dia kunci. Dia tak ingin ada yang mengetahui bahwa dirinya sedang menangis.

“Hey mei!”, Dina tersenyum berusaha menyembunyikan isak tangisnya.

“Hey din!Lagi apa?”

“Aku cuma lagi tidur – tiduran aja kok. Ayo masuk!”

Dina berbohong. Meia masuk tanpa mengucapkan sepatah kata.

“Kamu masih mikirin dia ya?”, tanya Meia setelah duduk di atas tempat tidur.

“Dia siapa?Aku nggak mikirin apa atau siapa pun kok.”

Tampak raut muka Dina tersenyum dengan ragu menjawab lalu memberikan minuman.

“Aku bisa melihat dari muka kamu kalau kamu itu lagi mikirin sesuatu.”

“Don’t ever think you know everything, Mei!”, kata Dina sambil membereskan tempat tidur tanpa menatap wajah sahabatnya.

“Okeeeyy..bukannya aku mau jadi sok tau ya, Din. Aku cuma nggak mau aja lihat keadaan kamu sekarang.”

“Maksud kamu?”

“Aku udah tahu kok soal malam Minggu kemarin itu. Sebenarnya apa sih yang kamu rasain saat tahu cowok yang kamu cintai batalin janji sama kamu dengan dalih ada acara keluarga, padahal kenyataannya dia malah pergi sama cewek lain??”

Tangan Dina yang sedang sibuk membereskan itu pun terhenti sesaat ketika mendengar pertanyaan Meia. Dina memandang gadis itu sesaat sebelum melanjutkan memberesan.

“Aku malas Mei omongin soal itu.”

“Sampai kapan kamu mau terus – terusan mengalah?”

“Kalau kamu ke sini hanya ingin memojokkan aku, lebih baik kamu tinggalin aku.”

Isyarat Dina untuk mengusir Meia sudah cukup jelas. Namun, Meia pun tak segera menyerah.

“Kamu tuh harus tegas sama Aldo. Kamu sih, terlalu kasih dia kebebasan. Sekarang lihat! Dia malah salah gunain kepercayaan yang kamu kasih.”

Meia sudah mulai panas dengan pembicaraan ini. Tanpa dia sadari, omongannya telah membuat Dina menangis.

“Din, maafin aku ya!Aku nggak bermaksud buat kamu inget – inget soal itu lagi.”

Dina memeluk Meia dengan erat.

“Aku tahu Mei, kamu peduli tentang aku. Tapi gimana mei ? Aku terlalu takut untuk omong sama Aldo. Aku takut dia malah marah dan mutusin aku. Aku nggak mau kejadian enam bulan silam terulang lagi.”

Meia mengusap pundak Dina perlahan.

“Jangan nangis lagi ya, Din!”

“Apapun yang dia lakukan, aku nggak mau terlalu mikirin. Yang penting dia tetap jadi milik aku.”

“Cinta bukan berarti kamu harus mengalah dan seenaknya aja bisa dipermainkan.”

“Bukannya itu lebih baik daripada melihat Aldo marah?”

“Pikirin baik – baik Din, cowok di dunia nggak cuma satu!Masih ada yang punya kasih tulus buat kamu.”

Hanya butuh waktu sesaat untuk membuatku jatuh hati pada Aldo, namun mungkin butuh waktu seumur hidup untuk melupakannya, batin Dina.

xxx

Sesaat kemudian, terdengar suara klakson mobil yang melepaskan pelukan mereka. Meia menghapus air mata Dina. Dina pun keluar ke beranda kamarnya diikuti Meia. Matanya mengarah ke jalanan.

“Itu Gorbi.”, kata Meia sambil melambaikan tangan ke arah pemilik mobil tersebut.

“Buat apa ke sini?”, tanya Dina keheranan.

“Tadi dia ajakin aku pergi ke mall. Katanya sih mau beli sepatu basket.”, Meia menjelaskan,”Nah, aku keingetan sama kamu. Udah lama kita nggak jalan bareng gara – gara setiap aku ajak kamu ada aja alesannya. Makanya aku sengaja nggak bilang kalau mau datang ke sini sekaligus ajak kamu ikut sama aku dan Gorbi. Jadi, aku suruh aja dia datang ke rumah kamu buat jemput kita.”

“Tapi din..”

Belum sempat Dina melanjutkan kata-katanya, Meia memotong.

“Udaahh..nggak usah banyak alasan lagi! Sekarang kamu ganti baju gih. Kan nggak enak sama Gorbi, kalau dia udah jauh – jauh datang ke sini, eh tapi kamunya malah nggak ikut.”

Dina tak bisa menolak ajakan sahabatnya itu karena tak mau mengecewakan lagi.

Chapter 2

Sketsa Ulang

“Kok diem aja sih, din?”

Gorbi menyadarkan lamunan Dina di tengah keramaian pengunjung restauran.

“Tahu nih si Dina! Dia tuh lagi mikirin gimana cara dapatin cowok kali ya..”, goda Meia.

“Apaan sih, mei?”

Muka Dina merah merasa malu terhadap Gorbi. Meia tertawa cengengesan.

Dina memutar pandangannya ke arah sekelilingnya. Pandangannya berhenti pada seorang sosok yang dilihatnya dari kejauhan.

“Aku pergi dulu sebentar.”, kata Dina sebelum dia beranjak pergi meninggalkan Gorbi dan Meia. Gorbi dan Meia pun saling bertatap muka keheranan.

“Dina kenapa, Mei?”, tanya Gorbi mengerutkan wajahnya.

Meia menggelengkan kepala.

“Aku juga nggak tau, mungkin dia mau ke toilet kali.”

Gorbi hanya mengangguk sambil berkata,

“Oohhhh..”

Dina mengejar sosok yang tiba – tiba menghilang. Dia membalikkan badan ke kanan ke kiri berusaha mencari. Akhirnya, dia menemukannya. Aldo. Bersama wanita lain. Aldo merangkul bahu wanita yang dikenali Dina sebagai adik kelasnya di sekolah, Rara. Mereka sedang asyik melihat barang – barang etalase yang dipaparkan di depan toko. Sungguh Dina sangat terpukul. Dia ingin sekali menemui Aldo. Namun, seketika kakinya tak bisa melangkah.

Begitu berat. Lagi – lagi Dina harus melihat cowok yang ia cintai tersenyum bersama wanita lain. Apa salahku padamu, do? Kamu begitu bahagia sama Rara, sedangkan dimana kebahagian itu ketika bersamaku?. Dina menguak kembali kisah kelamnya bersama Aldo. Sudah kesekian kalinya Aldo mempermainkannya. Namun kesabaran Dina memang tak pernah mencapai ambang batas. Dia selalu bisa memaafkan dan membuka jalan kembali untuk Aldo.

Tiba – tiba, Hp Dina melantunkan nada dering sms masuk. Dina segera merogoh tasnya dan membuka sms itu.

Din, kamu dimana? Kita udah mau balik nih!Udah malem, besok kan sekolah.

Meia

xxx

Gorbi dan Meia bingung dan resah di dalam mobil. Pintu belakang mobil terbuka. Dina masuk.

“Maafin aku ya. Kalian pasti nungguin lama.”

Dina memohon maaf merasa tidak enak dengan Gorbi dan Meia.

“Bukan masalah nungguin lama, Din. Tapi kita tuh khawatir terjadi sesuatu yang buruk sama kamu.”, Gorbi menengok ke arah Dina.

“Belum lagi besok sekolah. Bisa – bisa kita telat gara – gara tidur kemalaman terus bangun kesiangan.”, sela Meia dengan nada kesal.

“Iya deh maaf, aku nggak bermaksud buat kalian khawatir gini. Lagipula, kenapa sih kalian nggak pulang duluan aja ? Aku kan bukan anak kecil lagi. Aku bisa pulang sendiri naik taksi.”

“Udah bagus ditungguin, kamu malah menyalahkan balik sih ?!”, Meia asal bicara.

“Bukan gitu maksudnya..”

“Udaaahh..kalian berdua jangan berantem dong. Siap pulang nggak?”

Gorbi berusaha memisahkan perdebatan antara Dina dan Meia itu.

“Secepatnya.”, sahut Meia.

Chapter 3

Risalah Hati

Bel sekolah berbunyi menandakan jam pelajaran terakhir telah usai. Kelas sudah kosong. Hanya ada Dina dan Meia. Mereka memang sudah janjian tidak langsung pulang setelah bel berbunyi. Ada yang ingin dibicarakan Meia.

“Mau omongin soal tadi malam ya, Mei?”

“Iya”, jawab Meia singkat.

“Maafin aku ya Mei, aku..”, Dina menundukkan kepala.

Meia memotong pembicaraan.

“cuma terlalut dalam tangisan aja??”

Dina mengerutkan wajah. Dia tidak mengerti arah pembicaraan Meia.

“Aku juga jadi saksi kok, Din. Kamu kira aku nggak tahu apa kalau tadi malam itu Aldo jalan sama Rara?”

“Tahu darimana kamu?”

Bukannya menjawab. Meia terus melemparkan pertanyaan.

“Belum cukup puas kamu atas kejadian tadi malam??”

Dina tak tahan menghadapi Meia. Dia pun pergi keluar kelas tanpa mengucapkan kata - kata. Meia mengikuti.

Sewaktu berjalan di koridor, Dina sengaja melangkahkan kakinya lebih cepat. Ingin menghindari Meia. Meia pun menghentikan langkahnya. Capek. Itu yang dia rasakan, sudah berapa kali dia menasehati Dina untuk meninggalkan Aldo yang playboy itu. Hasilnya nol. Dina tetap lebih suka diam bahkan membela kekasihnya itu.

“Aduuhh..”

Dina merintis kesakitan. Tabrakannya dengan Aldo terjatuh.

“Aduh sayang. Maafin aku ya! Aku nggak sengaja. Lagian kamu kenapa sih kelihatan buru – buru banget itu?”

Aldo membangunkan Dina. Dina bungkam tak bicara. Dia bingung apa yang harus dia katakan setelah kejadian tadi malam. Ingin sekali dia pura – pura tidak tahu.

“Sayang..kok kamu diam aja sih? Kamu sakit??”

Belaian tangan Aldo melayang pada pipi Dina membuatnya terpaku. Suatu saat, Aldo menjadi lelaki yang sangat penuh perhatian untuk Dina. Tapi dibalik itu semua, perhatian Aldo juga bertumpu pada wanita lain.

“ Aku nggak apa – apa kok do. Oh iya, hari ini kamu mau pergi kemana?”

“Belum ada rencana kemana – mana sih. Emang kenapa?”

“Kalau kamu mau, nanti malam kamu datang ke rumah aku ya. Kita makan malam sama Mama aku.”

“Ada acara apaan, yang? Kok tumben ajak makan malam begini?”

“Nggak ada kok. Kan kamu udah lama aja nggak ketemu Mama.”

“Nanti aku usahain deh.”

“Yaudah makasih ya,do. Aku mau pulang dulu.”

“Hati – hati di jalan ya sayang.”

Kemana Aldo yang dulu?, batin Dina. Biasanya setiap pulang, Aldo selalu mengantarkan Dina. Tapi sudah sebulan terakhir ini, mereka jarang terlihat bersama. Sampai – sampai sempat beredar gosip bahwa Dina dan Aldo sudah putus. Tanpa banyak tanya lagi, Aldo meninggalkan Dina sendiri.

xxx

Kekecawaan jelas terlihat pada muka Dina setelah membaca sms masuk.

Sayang, aku nggak bisa datang ke rumah kamu. Tiba – tiba adekku minta diantarin ke acara ulang tahun temannya. Salam aja buat mama ya.

Aldo

Sudah berapa kali Aldo membatalkan janjinya. Selalu saja ada alasan yang terpikirkan untuk mengelabui Dina. Padahal, satu alasan yang mendasar adalah kemalasannya menemui Dina.

Sikap Aldo begitu membingungkan. Dia tidak pernah meminta putus dari Dina, namun juga tak jarang ia mengecewakan dan melupakan Dina. Seringkali teman – teman Dina memergoki Aldo jalan bersama wanita lain.

Dina memutuskan untuk menenangkan dirinya. Dia butuh udara segar untuk membersihkan pikirannya yang sedang berantakan.

Malam itu, di atas kursi panjang taman dekat rumahnya, Dina duduk merenung sendiri.

“Kamu tuh kenapa sih, do? Sikap kamu berubah. Aku serasa bukan jadi orang yang ada dalam hati kamu lagi?”

Dina bicara tanpa memikirkan dengan siapa ia bicara. Dia hanya ingin mengutarakan isi hatinya. Tetes air matanya pun tak tertahan.

Tiba – tiba saja sebuah tangan meraih bahu Dina dari belakang. Dina menoleh perlahan ke arah belakang. Gorbi.

“Gorbi, kamu lagi apa disini?”, tanya Dina sambil menghapus air matanya.

“Nemuin kamu.”

Gorbi duduk di sebelah Dina. Tatapannya menerawang jauh ke arah bintang – bintang indah di langit.

“Kamu tahu darimana aku di sini?”

“Tadi aku ke rumah kamu. Mama kamu bilang kalau kamu pergi tanpa pamit. Feeling aku mengatakan kalau kamu ke taman ini. Kan kamu sendiri yang bilang kalau kamu senang berada di taman ini buat lihat bintang – bintang di langit. Aku merasa ada sesuatu dalam diri kamu yang kamu pendam sampai kamu berani ke taman ini sendirian malam – malam. Ada apa sama kamu, din ?”

“Aku bingung gor sama sikap Aldo. Akhir – akhir ini dia berubah. Kalau aku nggak hubungin dia, dia nggak pernah hubungin aku. Masih satu sekolah aja, seperti jarak memisahkan jauh banget. Sulit untuk bertemu dia.”

Dina mengungkapkan risalah hatinya.

Bintang di langit memang indah. Seindah mata Dina yang harusnya tak pantas menangisi lelaki buaya itu, batin Gorbi. Ada tersimpan rasa spesial di hati Gorbi tentang Dina. Dari dulu, Gorbi memang sudah jatuh cinta dengan Dina. Namun, dia tak pernah mengungkapkan perasaannya karena terlebih dahulu Aldo menyatakan perasaan cintanya.

“Cinta apa yang kamu cari dari cowok macam Aldo, din?”

“Selalu aja pertanyaan sejenis terlempar ke aku. Mungkin pikiran kamu sama kayak Meia yang selalu bilang ‘kenapa kamu nggak cari cowok lain sih?!’ tapi aku nggak bisa gor, Aldo sayang sama aku. Mungkin aku lah yang telah berbuat salah sampai Aldo berubah sikap.”

Tanpa sadar, Dina menangis di dada Gorbi. Mereka terbawa oleh suasana kemesraan di bawah naungan malam.

Derai tangisan Dina membuat Gorbi ikut tersakiti. Rasanya dia ingin menghajar Aldo sampai Aldo bertekuk lutut di bawah Dina memohon maaf.

“Din, sebaiknya kamu pulang. Mama kamu pasti mencari kamu.”

Dina mengangguk pelan.

Chapter 4

Bukan Lelaki Brengsek

Di tengah lapangan, terlihat keributan. Dina dan Meia yang niatnya ingin berjalan ke kelas jadi teralihkan. Mereka terpaku.

“Ada apaan sih itu ribut - ribut?”

Dina menyilangkan tangannya pada dadanya.

“Ya mana aku tau?Lihat aja yuk, jadi penasaran!”

Mereka mendatangi keributan itu. Muka mereka langsung panik karena yang sedang beradu itu adalah Gorbi dan Aldo. Seperti pertandingan karate namun sangat brutal. Di sekeliling mereka, tak ada yang memisahkan. Hanya ada suara teriakan anak – anak seperti penonton yang menyemangati stadium pertandingan bola.

Dina berusaha menyusup di tengah kerimbunan itu. Lalu,memisahkan mereka berdua.

“Aldo..gorbi..!!”

Teriakan Dina membuat keduanya langsung tenang.

“Eh apaan sih kalian berdua norak banget berantem kayak gini? Kalau mau, sekalian di ring tinju biar puas!”

“Din, orang kayak dia nggak pantes dikasih ampun. Dia tuh pantesnya dihajar.”

Gorbi langsung menghajar perut Aldo sampai terjatuh. Dina langsung menolong Aldo. Meia bingung harus memihak siapa. Satu sisi, Aldo adalah kekasih sahabatnya. Tapi satu sisi juga, Meia juga ingin membenarkan kata – kata Gorbi.

“Aldo..kamu nggak apa – apa?”,Dina memegang erat tangan Aldo, “Gor, apa sih urusan kamu sampai harus mukulin Aldo?”

“Urusan aku? Urusan aku itu kamu, din. Tadi aku lihat dia dia kantin sedang bermesraan sama cewek lain.”

“Loe nggak usah banyak omong ya gor!”, kata Aldo sambil megacungkan telunjuknya ke muka Gorbi,

”Sayaaang aku sama cewek itu nggak apa-apain, dia cuma lagi tanya soal tugas sekolah.”, lanjut Aldo berusaha menjelaskan kepada Dina.

Dina menghampiri Gorbi. Plak. Sebuah tamparan dahsyat melayang padanya.

“Mulai sekarang kamu nggak usah urusin tentang aku sama Aldo!”, bentak Dina.

xxx

Antara percaya atau tidak. Pikiran Dina melayang pada apa yang dilakukannya hari ini pada Gorbi. Mungkin seharusnya dia tidak perlu menampar Gorbi di depan umum. Namun, hal ini juga tak akan terjadi kalau saja Gorbi lebih sabar. Dina sadar bahwa Gorbi ingin membelanya. Kasih sayang terhadap lelaki yang sedang terbaring di tempat tidur itu membuatnya sudah kehilangan akal.
Aldo tertidur lelap di ruang uks sekolah. Tampak memar - memar kecil akibat pukulan Gorbi. Keadaannya tak begitu parah.

Tiba – tiba Meia masuk ke dalam uks, lalu menarik tangan Dina keluar ruangan.

“Kenapa sih Mei?”, tanya Dina.

Meia menghempaskan genggamannya dengan kasar.

“Kenapa??Kamu tuh yang kenapa?”

Tatapan Meia begitu kesal.

“Din, ngapain kamu nampar Gorbi ? Dia berusaha untuk bela kamu tapi apa yang kamu lakuin?! Kamu justru menyalahkan Gorbi dan lebih membela cowok brengsek itu”

“Aldo nggak brengsek, Mei. Dia tuh sayang sama aku. Lagian kalian berdua tuh yang harusnya tau diri. Nggak perlu ikut campur urusan orang lain!”

Ucapan Dina membuat muka Meia memerah menahan amarah. Dia tak tahu lagi harus bicara apa untuk menyadarkan sahabatnya.

“Oke!! Kalau itu mau kamu. Mulai detik ini, kamu bisa tenang. Aku nggak akan pernah ganggu kamu sama dia lagi!!”

Meia pergi dengan kesal yang dibawanya.

Chapter 5

Nyawa yang Terenggut

Hari demi hari terus berlalu. Di sekolah, Meia dan Dina yang biasa terlihat bersama sudah menghilang. Di mana ada Dina, Meia selalu menghindar. Begitupun Meia. Dina lebih sering terlihat sendiri. Sedangkan Meia bergaul dengan teman lain. Meia memang masih menyimpan kemarahan pada Dina. Dia kecewa dengan sikap Dina.

Perpustakaan tenang. Semuanya sibuk dengan buku bacaan masing - masing termasuk Meia. Seseorang menghampirinya.

“Mei, aku perhatiin, kamu jarang berdua sama Dina. Kalian bertengkar ya?”, tanya Gorbi sambil pura – pura membaca buku agar tidak ditegur oleh pustakawan. Seperti diketahui bahwa pustakawan sekolah mereka sangat galak. Ada yang ribut sedikit, bisa kenal komat- kamit celotehnya.

“Dia yang ingin kayak gitu,gor”, bisik Meia masih serius membaca buku tentang peradaban manusia pada zaman kuno.

“Itu semua pasti gara – gara aku. Coba saat itu aku nggak berantem sama Aldo.”

“Udahlah Gor, apa yang terjadi, terjadilah. Nggak ada yang perlu disesali.”

“Aku nggak menyesal kok, Mei. Aku puas udah menghajar Aldo tapi kepuasaan itu berubah jadi rasa bersalah ketika mendengar kalian bertengkar.”

Saking asyik menjelaskan, Aldo lupa mengontrol volume suaranya. Pustakawan pun menyambar.

“Heh kalian! Di sini bukan tempat obrol.”, tegas pustakawan itu. Di dadanya, tertera nama Darwoso. Mereka pun terpaksa keluar dari perpustakaan karena tak enak dengan Pak Darwoso.

“Gimana ya Mei buat menyadarkan Dina?”, tanya Gorbi menyodorkan minuman pada Meia. Diam – diam, mereka masih peduli dengan keadaan Dina.

Meia menerima minuman itu.

“Aku juga nggak tau lagi harus gimana!!Aku udah capek, gor.”

Mereka berdiam diri sesaat sampai sebuah sms masuk ke hp Meia.

Mei, Dina kecelakaan.

Mama Dina

Meia tersedak setelah membaca sms itu. Dia baru ingat kalau hari ini Dina tidak masuk sekolah. Entah dia tidak tahu alasannya. Tidak ada keterangan pasti.

“Lho Mei, kamu kenapa ?”

“Baca deh Gor!”

Meia menunjukan isi sms itu.

Muka Gorbi pun ikut berubah panik. Dia mengira sesuatu yang buruk terjadi pada Dina.

xxx

Bau rumah sakit menusuk. Langkah Dina dan Gorbi begitu cepat memasuki setiap koridor menuju satu kamar. Mereka bediri di depan kamar. Kamar yang bertuliskan nomor 356. Membuka pintu itu perlahan sebelum menemukan seorang gadis memakai penutup kepala berwarna putih. Miris hati Meia melihat sahabat baiknya di atas ranjang itu.

“Dina..”

“Mei..” Gadis itu menggerakkan tangannya meraba – raba.

Meia mengiggit bibirnya. Menatap gadis itu dengan rasa bersalah. Tak sanggup ia membuka mulutnya. Matanya berkaca – kaca, tak tahan melihat keadaan Dina yang begitu lemah. Melihat keadaan itu, Gorbi tak ingin mengganggu. Tanpa berpamit, ia pergi meninggalkan mereka berdua di ruangan itu.

“Jangan banyak bergerak dulu ya, Din!”, Meia menggenggam erat tangan Dina.

Sementara itu, di luar Gorbi duduk menundukkan kepalanya.

“Gorbi”, sapa seseorang duduk di sampingnya.

“Tante”, toleh Gorbi.

Itu adalah Mama Dina.

“Bagaimana keadaan Dina, tante?Apa kata dokter?”

“Alhamdulillah Dina tidak mengalami patah tulang atau cedera berat. Beberapa hari kedepan, Dina sudah bisa pulang.”

Hela napas Gorbi dengan lega.

Di rumah sakit yang sama, namun berbeda lantai. Seorang ibu resah berjalan mondar mandir di depan sebuah kamar.

Pintu kamar terbuka. Seorang dokter menggelengkan kepala. Ibu itu berlari ke arah kamar itu lalu memeluk erat tubuh kaku yang terbaring di sana.

Ibu itu menjerit tangis.

“Aldooooooooo!!!!!!!!!!”

Tubuh itu tak bergerak sedikitpun. Diam

Membisu

Kanker otak yang diderita Aldo membuatnya harus meninggalkan dunia lebih cepat dibanding teman sebayanya.

Chapter 7

God Bless You, Aldo!

Pemakaman Aldo berjalan dengan sendu. Pakaian hitam menghiasi sekeliling liang kuburnya.

“Hari ini kita menyaksikan pemakaman Fazia Aldo bin Asroni dikenal sebagi Aldo. Semoga yang kuasa menerima arwahnya di sisiNya”, baca doa seorang Haji mengangkat kedua tangannya.

“Amiiinnn”, seru para hadirin.

Hadirin pun menaburkan bunga di atas tanah merah itu. Beberapa teman sekolah Aldo hadir termasuk Dina, Meia dan Gorbi. Meia dan Gorbi memeluk Dina menenangkan yang tak berhenti menangis seperti Mama Aldo.

Aldo tak pernah menceritakan soal penyakit kanker otak itu pada Dina. Selama ini, Dina hanya melihat keadaan Aldo sebagai seseorang yang sehat. Tak pernah diduganya, Tuhan merenggut nyawanya secepat ini.

“Udah din..jangan nangis mulu dong..”

Tak letih Meia mengucapkan kata itu.

Satu demi satu, hadirin mulai meninggalkan pemakaman. Kini tinggal Dina, Meia, Gorbi dan keluarga Aldo yaitu Papa, Mama dan Adik perempuannya.

“Tante..aku turut berduka cinta.”, sapa Dina ramah.

Mama Aldo memang sudah mengenal Dina cukup lama. Sesekali Dina pernah dibawa ke rumah Aldo untuk diperkenalkan kepada keluarganya.

Mereka berpelukan erat. Merasakan kepedihan hilangnya Aldo dari muka bumi. Sesaat Mama Aldo mengeluarkan buku kecil dari dalam tasnya. Kemudian Dina menerima buku itu.

“Aldo sudah lama mengidap penyakit kanker otak ini. Namun, dia tak pernah ingin kalau teman – temannya tau. Buku ini Aldo serahkan pada saat ia berada di rumah sakit. Buku ini merupakan catatan harian Aldo. Dia bilang agar buku ini diberikan ke kamu kalau seandainya dia udah nggak ada.”, kata Mama Aldo memandangi kuburan Aldo.

Suara rintik gerimis membasahi dedaunan. Dina duduk di beranda kamarnya. Serius membaca buku diary milik Aldo yang diberikan kepadanya. Suasana rumah saat itu sepi. Keluarga Dina memang sedang pergi ke luar kota namun Dina sendiri tak ikut karena masih dalam keadaan berduka. Lembar demi lembar Dina baca tulisan tangan Aldo yang tertera di buku itu. Sampai pada suatu halaman terakhir..

Dina..

Hari ini malam yang kelabu tak menyinarkan bintang indahnya. Bulan pun tak datang menyambut.

Dina..
Kadang perasaan bersalah menyergapku. Aku tak tahan melihat kau begitu menderita melihatku bersama wanita lain. Aku tahu engkau menangis, aku tau engkau menjerit dalam hati namun tak pernah aku lihat engkau mengungkapkan rasa sedih dan kesal itu kepadaku. Jujur tak ada maksudku untuk mendua.

Dina..

Andai kau tau aku begitu sayang dan cinta dirimu. Aku tak ingin menyakiti hatimu dengan melihat lelaki yang teman – temanmu anggap brengsek ini meninggalkanmu. Aku hanya ingin membuatmu melupakanku secara perlahan namun sampai saat ini, mengapa engkau selalu bertahan di atas cinta yang tlah ku khianati?Kenapa kau tak pergi meninggalkan aku??Dengan begitu, aku akan merasa tenang dan tak perlu merasa bersalah.

Dina..

Maafkan aku karena sering membuatmu terluka. Mengacaukan persahabatanmu dengan teman – temanmu. Aku tak pernah bermaksud melakukannya. Aku hanya tak ingin kau terluka.

Dina..

Kau akan selalu menempatkan hatiku, tak akan pernah tergantikan oleh siapapun.

Aldo

Happy anniversary 5 month, sayang!

Pertahanannya pun bobol. Dina kembali menangis. Hari itu malam pun tak bersahabat. Tak ada bintang yang melukis langit. Bulan pun samar – samar tertutup awan hitam di langit.

Saturday 2 July 2011

Let's Start From The Beginning

Okay, berhubung udah hampir 3 tahun gue nggak nulis, gue punya banyak banget cerita yang bisa gue share. Tapi gue akan mulai dengan kehidupan di universitas. Pertama, gue kuliah di UPH (Universitas Pelita Harapan) dan mengambil jurusan HI (Hubungan Internasional). Yaa awalnya nggak kepikiran sih bakalan kuliah di kampus itu, karena berhubung bayaran masuk dan biaya semesteran udah melebihi dari kampus-kampus lain. Tapi berhubung gue juga nggak keterima di universitas negeri yang gue pengen, jadi gue direkomendasikan oleh bokap nyokap serta om tante gue untuk masuk UPH. Awalnya gue rada ragu untuk masuk situ, karena gue ngeliat temen-temen gue yang bisa masuk universitas negeri kayak UI, ITB, UGM and many else. But I didn't want to waste any time to wait until next year. Therefore, I chose to go into UPH and tried to get the best on me. Not so bad, udah 2 semester terakhir terbukti gue bisa mendapatkan hasil yang cukup bahkan sangat memuaskan. Nggak cuma soal akademik, tapi juga pergaulan. Emang sih kebanyakan anak UPH itu orang Cina, tapi mereka nggak main kubu-kubuan kok. Gue punya banyak teman dan memang beberapa diantara mereka, sangat dekat sama gue. Let me introduce my best friend in UPH called by Kembang, there are Finda Kusuma Putri (Finda), Indira Kartika Putri (Indira), Putri Nabilla Azwar (Illa), and Chaterine Paskanauli (Cathy). Bisa dibilang mereka itu teman-teman yang hampir tiap hari selama di kampus bersama gue. Kalau kebanyakan dari anak-anak univ tinggal di kos atau tetap dirumah orang tuanya, kalau gue tinggal di kondominium persis sebelah kampus. UPH emang berada di tempat yang cukup strategis, didepannya aja udah langsung mall, actually a big mall, Supermall Karawaci. Yaa lumayanlah untuk have fun abis ngampus dan nggak perlu jauh-jauh kalau mau cari apa-apa. Supermall Karawaci ini udah lumayan lengkap kok. Begitulah kira-kira kondisi selama 1 tahun terakhir dunia perkuliahan gue. It's pretty interesting when you get in university cause there are a lot of story. Yang kedua, masalah yang emang nggak pernah mati ditelan waktu. Karena kalau yang ini nggak ada, nggak akan ada tuh bayi-bayi lucu yang baru lahir. Itulah masalah CINTA. Tapi cukup disayangkan untuk hal yang satu ini agak berat untuk diceritakan. Karena gue baru aja putus cinta, you can call me as a broken hearted girl. Udah kurang lebih 17 bulan gue ngejalanin hubungan sama cowok ini, namanya Jodi Prihariadi (Jodi). Ada banyak banget kenangan yang nggak bisa diungkapin pake kata-kata. Semua itu berawal dari kedekatan gue sama dia pas kelas 3 SMA. Kebetulan dia satu kelas sama gue. Awalnya emang kita nggak terlalu dekat, tapi satu hari gue jadi curhat dan cerita gitu sama dia dan akhirnya gue ngelakuin itu sampe berkali-kali. Dari situ, gue sadar ada sesuatu yang spesial dari dia di mata gue. Gue nggak pernah nemuin orang, khususnya cowok, yang mau dengerin cerita gue mulai dari hal yang paling nggak penting sampai hal personal tentang gue. Yaa sampai akhirnya masalahpun muncul, berhubung saat itu Jodi udah punya cewek, sebut saja Alin, banyak banget yang mempertanyankan kedekatan gue dan Jodi, apakah sebatas teman atau lebih dari itu. Jujur aja nggak gampang ada di posisi gue yang emang butuh teman curhat tapi satu sisi tekanan datang dari mana-mana termasuk dari teman gue sendiri yang bilang untuk ngejauh dari Jodi. Apalagi gue denger kata orang-orang, gue udah ngerusak hubungan Jodi dan Alin. I never meant to do like that. I just wanted to have a friend, like anyone who want to hear my story. Dan yang gue temuin adalah Jodi, orang yang menjadi pendengar yang setia. Sempat suatu kali gue hopeless dan menjauh dari dia karena banyak banget yang nggak suka kedekatan gue dan dia. Tapi setelah gue pikir lagi, mencari teman bukan hal yang salah kok buat dilakuin, yaa walaupun dia udah punya cewek. Karena hal itu, Alin nggak terima. Akhirnya Alin dan Jodi putus, dari situ bertambah lagi lah penderitaan gue menerima caci maki dari orang-orang sekitar gue, termasuk Alin sendiri. Mulai dari note di facebook, tulisan status facebook sampe gosip di sekolah yang rasanya buat gue pengen hilang dari dunia sesaat. Syukur gue punya sahabat baik seperti Anisa Puspita Sari (Nana) yang mau ngertiin gue. Dia terus support gue. Hubungan gue sama Jodipun semakin dekat, yaa walaupun kita nggak ada kata 'jadian' atau dia emang nggak pernah nembak gue secara langsung, tapi gue dan dia udah bisa menyimpulkan kalau hubungan ini lebih dari sekedar teman maupun sahabat. 17 bulan bukan hal yang sebentar untuk dilaluin, apalagi Jodi nggak kuliah di Jakarta, dia kuliah di UGM. Mulai dari senang, sedih, ketawa dan bercanda bareng sampe nangis, semuanya gue rasain dan laluin sama-sama dengan dia. Sampai satu hari, ada masalah diantara gue dan dia. Masalahnya udah terlalu nyiksa batin kita berdua dan dia pun mutusin gue. Hal itu cukup buat gue mengeluarkan banyak air mata tapi sampai detik ini, gue masih dekat sama dia. Bahkan tiap hari pun gue masih komunikasi. Masih ada harapan untuk gue dan dia balik lagi, mencoba mulai dari awal bareng-bareng dan gue percaya semuanya bakal indah pada akhirnya. Gue yakin Allah akan ngasih yang terbaik untuk gue dan dia. Mungkin ini adalah jalan emang yang gue harus laluin untuk lebih bersabar dan lebih baik lagi. Dan nggak ada salahnya untuk mencoba karena we'll never know until we try it ! :) :) :)